Menjelaskan
Konsumen , Perilaku
Usaha , Anti Monopoli & Persaingan yang tidak Sehat , dan KPPU
PERTEMUAN 4
NAMA : Dino Hernanda
NPM : 21217766
KELAS : 2EB17
BAB 11
11.1 PENGERTIAN
KONSUMEN
Konsumen yaitu
beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang
untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan
perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
11.2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
·
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan
pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi
dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·
Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak
yang lebih dilindungi.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum
Sedangkan Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan
konsumen adalah:
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen
11.3 Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen
(UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
·
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
·
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
·
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan;
·
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
·
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen
·
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
·
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
·
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
·
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
·
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
11.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
·
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
·
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di
dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
·
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7
UUPK adalah:
·
beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
·
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·
memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
·
memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan
kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini
berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
11.5 Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Dalam pasal
8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan
hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau
memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan
secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .
1. larangan
dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang
atau jasa, misalnya :
· tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan ;
· tidak sesuai
dengan berat isi bersih atau neto;
· tidak sesuai
dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
· tidak sesuai
denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika
, atau keterangan barang atau jasa tersebut;
· tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label;
· tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
· tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran ,
berat isi atau neto
2. larangan dalam
menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang
atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah.
· barang
tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu.
· Barang
tersebut dalam keadaan baik/baru;
· Barang atau
jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu.
· Dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
· Barang atau
jasa tersebut tersedia.
· Tidak
mengandung cacat tersembunyi.
· Kelengkapan
dari barang tertentu.
· Berasal dari
daerah tertentu.
· Secara
langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
· Menggunakan kata-kata yang berlebihan
seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang
lengkap.
· Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam
penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara
obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
· menyatakan
barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
· Tidak
mengandung cacat tersembunyi.
· Tidak berniat
untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang
lain.
· Tidak
menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual
barang yang lain.
4. larangan dalam
periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya
:
· mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau
tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
· Mengelabui jaminan
/ garansi terhadap barang atau jasa.
· Memuat
informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
· Tidak memuat
informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
·
Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan.
· Melanggar
etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
11.6 Klausula
Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang
dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam
transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Klausula Baku dilarang menurut undang-undang
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung
unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan
atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
Contoh Klusula Baku yang dilarang Undang-Undang
Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang
harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa : “ Bank tidak
bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari
Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai
mereka
Kwitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :
o "Barang yang
sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan"
o "Barang tidak
diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;
Contoh Klusula Baku yang BATAL DEMI HUKUM
Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang
mencantumkan Klausula Baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan
Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi
pidana denda atau pidana penjara;
Pencantuman Klusula Baku yang benar adalah yang tidak
mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk
dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami;
11.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pasal 19
·
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian konsumen akibat mengkonsuumsi
barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
·
Gani rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1 )
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang atau jasa sejenis setara
ini lainnya, atau perawatan kesehatan atau jasa yang sejenis atau setara ini
lainnya, atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pergantian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
·
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan kesalahan.
·
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
11.8 Sanksi-Sanksi
Jika Produsen Merugikan Konsumen
Sanksi bagi pelaku usaha menurt UU No.8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen. Sanksi perdata ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang
·
Penggantian uang
·
Perawatan kesehatan
·
Pemberian santunan ganti rugi diberikan dalam
tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi administrasi ganti rugi dalam bentuk :
Maksimal Rp. 200.000.000, melalui BPSK jika melanggar pasal
19 ayat (2) dan (3), 20,25 sanksi pidana, kurungan :
·
Penjara 5 tahun denda Rp. 2.000.000.000, pasal
8,9,10,13 ayat (2),15,17 ayat (1) huruf a, b, c, dan edan pasal 182.
·
Penjara 2 tahun denda Rp. 5.000.000.000, pasal
11,12,13,ayat (1),14,16,17 ayat (1) huruf d dan f ketentuan piidana lain
(diluar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen)
Jika konsumen luka berat, cacat berat, sakit berat, atau
kematian dikenakan 11 hukuman tambahan antara lain :
·
Pengumuman keputusan hakim
·
Pencabutan izin usaha
·
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
·
Wajib menarik dari peredaran barang atau jasa.
·
Hasil pengawasan diisebarluaskan kepada
masyarakat.
BAB 12
12.1
Pengertian
Sebelum
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan
usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan
melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan
rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga
belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan ‘persaingan curang’ bila
memenuhi beberapa kriteria sbb:
Adanya
tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang
Perbuatan
persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan
memperluas hasil dagangan atau perusahaan
Perusahaan,
baik milik si pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan
curang tersebut
Perbuatan
persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang
tertentu
Akibat dari
perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari
orang lain yang diuntungkan dengan perbautan si pelaku
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan
pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat
2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus
dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan
merugikan kepentingan umum.
12.2 Asas dan Tujuan
Dalam
melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha.
Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, menengah, dan kecil
Mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha
Menciptakan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
12.3
Kegiatan yang Dilarang
1. Monopoli
Monopoli
adalah pengadaan barang dagangan tertentu sekurang-kurangnya sepertiganya
dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2. Monopsoni
Monopsoni
adalah keadaan pasar yang tidak seimbang dan dikuasai oleh seorang pembeli;
oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3.
Penguasaan pasar
Penguasaan
pasar merupakan proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar yang berupa:
·
Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan
·
Menghalangi
konsumen untuk melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaing pada pasar
bersangkutan
·
Melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
4.
Persengkongkolan
Persekongkolan
berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk
persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai
Pasal 24, yaitu sbb:
·
Dilarang
melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
·
Dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan
·
Dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan
waktu yang disyaratkan.
Pasal 1
angka 4 UU No.5 Th.1999 menyebutkan bahwa posisi dominan merupakan keadaan
pelaku usaha yang tidak adanya pesaing yang berarti di pasar ybs dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai atau
pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan , akses pada pasokan, penjualan,
dan menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase
penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi
dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
·
Satu
pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu
·
Dua
atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
6. Jabatan
rangkap
Seseorang
yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang
merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang
bersamaan apabila:
·
Berada
dalam pasar bersangkutan yang sama
·
Memiliki
keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha
·
Secara
bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat
menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan
saham
Pelaku usaha
dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan
kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau
mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut
mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan
posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
8.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam
menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan
berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus
dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan
penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli
dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28).
Hanya
penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor
5 Tahun 1999 Pasal 14.
12.4
Perjanjian yang Dilarang
Oligopoli
Oligopoli
merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit
sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
·
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa
·
Pelaku
usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
>75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penetapan
harga
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian sbb:
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
·
Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan
·
Pembagian
wilayah
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
BAB 13
13.1 Hal-hal
Yang Dikecualikan Dari Undang-Undang Anti Monopoli
1. Perjanjian
yang dikecualikan
a. Hak atas
kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cipta
b. Waralaba
c. Standar
teknis produk barang dan atau jasa
d. Keagenan
yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
e. Kerjasama
pnelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
f.
Perjanjian internasional
2. Perbuatan
yang dikecualikan
a. Perbuatan
pelaku usaha yang tergplong dalam pelaku usaha
b. Kegiatan
usaha koperasi uang khusus melayani anggotanya
3. Pebuatan
dan atau perjanjian yang diperkecualikan
a. Pebuatan
dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan UU
b. Pebuatan
dan atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor
13.2 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
·
Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
·
Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
·
Posisi
dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis
pelaku usaha lain.
Keberadaan
KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
·
Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
·
Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
·
Efisiensi
alokasi sumber daya alam
·
Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
ditemui pada pasar monopoli
·
Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
·
Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
·
Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
·
Menciptakan
inovasi dalam perusahaan
13.3 Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan
Usaha
Pasal 36 UU
Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. Pasal 48
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
·
Pencabutan
izin usaha; atau
·
Larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
·
Penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak
lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran
tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 14
14.1 Pengertian Sengketa
Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat
bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup
lokal, nasional maupun internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu
dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara,
antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya.
Berikut ini beberapa pengertian sengketa dari
beberapa sumber buku:
- Menurut Chomzah (2003:14), sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
- Menurut Amriani (2012:12), sengketa adalah
suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang
kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika
situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan
dengan sengketa.
- Menurut Rahmadi (2011:1), konflik atau
sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami
perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada
pada persepsi mereka saja.
14.2 Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Menurut Pruitt dan Rubin (2004:4), terdapat
lima cara penyelesaian sengketa, yaitu:
1. Contending (bertanding), yaitu mencoba
menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak
yang lainnya.
2. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan
aspirasi sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya
diinginkan.
3. Problem solving (pemecahan masalah), yaitu
mencari alternatif yang memuaskan dari kedua belah pihak.
4. With drawing (menarik diri), yaitu memilih
meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.
4. In action (diam), yaitu tidak melakukan
apa-apa.
Sedangkan menurut Nader dan Todd Jr (1978:9), terdapat tujuh cara
penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu:
1. Lumpingit (membiarkan saja), oleh pihak yang
merasakan perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia
mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang
menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak
yang dirasakan merugikannya.
2. Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang
merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut, misalkan
dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan mengelak, maka
masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
3. Coercion (paksaan), pihak yang satu
memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang
bersifat memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya
mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.
4. Negotiation (perundingan), kedua belah pihak
yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang
dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga
yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi
mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik
tolak dari aturan-aturan yang ada.
5. Mediation (mediasi), pihak ketiga yang
membantu kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan
kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
6. Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah
pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga,
arbitrator dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan
dari arbitrator tersebut.
7. Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga
yang mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari
keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat
keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga berupaya bahwa
keputusan itu dilaksanakan.
14.3 Negosiasi
Ialah merupakan perundingan diantara kedua
belah pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan
masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya
pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling
menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya
dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
14.4 Mediasi
Ialah merupakan pihak ketiga yang membantu
kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak
ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau
ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk itu.
14.5 Arbitrase
Ialah merupakan diantara dua belah pihak yang
bersengketa sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan
sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator
tersebut.
14.6 Perbandingan antara Perundingan,
Arbitrase, dan Ligitasi
1. Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa
dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan
kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win
solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
2. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa
melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus
oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win
solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus
menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan
pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum
2. Hakim yang “awam”
Daftar
Pustaka
http://ikanurstantia.blogspot.com/2014/06/bab-12-perlindungan-konsumen.html?m=1
https://www.google.co.id/amp/s/odebhora.wordpress.com/2011/05/17/anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/amp/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/perbandingan-antara-perundingan-arbitrase-dan-litigasi/
https://www.kajianpustaka.com/2018/10/pengertian-jenis-penyebab-dan-penyelesaian-sengketa.html